Ayo berbagi agar lebih bermanfaat

Rabu, 25 Januari 2012

Mengambil resiko dalam suatu bisnis/usaha



Saudaraku, Semua hal yang kita lakukan sesungguhnya semua ada resikonya. Misal berkendara, ada resiko kecelakaan dengan berbagai macam sebabnya.

Dalam memulai suatu usaha biasanya para pengusaha memperhitungkan resiko usaha yang akan ia jalankan. Ada yang memperhitungkan resiko tersebut dari A sampai Z (Versi Universitas Ciputra). Dan ada juga yang tidak terlalu perduli resikonya, lakukan saja seperti mau mandi, langsung terjun ke dalam bisnis (Versi Cara gila jadi pengusaha)

Benar, Jika menjalankan suatu usaha kita harus berani mengambil resikonya. Resiko yang bagaimana? Alangkah baiknya resiko tersebut adalah resiko terukur. Yakni si pelaku usaha sudah menguasai medan. Tau cara yang digunakan agar usaha yang dilakukannya menghasilkan keuntungan. Namun tidak ada salahnya langsung terjun ke bisnis dengan catatan tidak ada yang dirugikan dan dalam rangka mencari pengalaman apalagi langsung untung.

Di zaman ini kebanyakan pengusaha hanya peduli dengan resiko tentang materi. Hanya sedikit yang memikirkan resiko besar yang sesungguhnya bisa merugikan dirinya kelak.
Menurut Muslim Entrepreneur Forum (2012), resiko itu ada 2

1.   Resiko dunia
Dalam hal ini bisa seperti, rugi modal usaha, tenaga, dan waktu.
2.   Resiko Akhirat
Dalam hal ini dapat terjadi karena si pengusaha tidak menjalankan usahanya dengan aturan main yang telah ditetapkan dalam syari’at islam.
Resiko ini bisa terjadi akibat, berbohong, kecurangan, riba, mengurangi takaran, dan lainnya.

Contoh kasus resiko akhirat.
Modal berasal dari ngutang yang ada unsur ribanya seperti Bank, Rentenir atau lainnya. Sehingga usaha yang ia jalankan menjadi tidak berkah. Hati-hati terhadap riba wahai saudaraku pengusaha muslim. Karena riba termasuk salah satu dosa besar yang pernah disebutkan oleh Rasullah SAW.

Alangkah MERUGINYA  seorang muslim yang mengabaikan perkara halal dan haram, ia berdoa saat subuh, siang, dan malam memohon perlindungan dan kemudahan rezeky dari Allah SWT. Padahal Allah SWT sudah memerintahkan dia untuk mencari harta yang halal.

Senin, 23 Januari 2012

Hukum Asuransi


Dalam menjalani kehidupan ini, pada hakikatnya kita sebagai hamba harus terikat dengan syari’at yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Berikut adalah ringkasan dari Hai’ah Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia Tentang hukum asuransi
1.   Asuransi bukanlah termasuk bentuk perniagaan yang dihalalkan dalam islam, sebab perusahaan asuransi tidaklah pernah melakukan praktek perniagaan sedikitpun dengan nasabahnya.
2.   Asuransi diharamkan karena mengandung unsur riba, yaitu bila nasabah menerima uang klaim, dan ternyata jumlah uang klaim yang ia terima melebihi jumlah total setoran yang telah ia bayarkan.
3.   Asuransi mengandung tindak kezhaliman, yaitu perusahaan asuransi memakan harta nasabah dengan cara-cara yang tidak sibenarkan dalam syariat.

Saat ini perusahaan asuransi tidak mau ketinggalan menggunakan merek berbasis syari’at.
Mereka menawarkan dua jenis pilihan
a.   Asuransi umum syari’ah
Pada pilihan ini, mereka mengklaim bahwa mereka menerapkan metode bagi hasil/mudharabah. Yakni, ketika habis masa kontrak, dan tidak ada klaim, maka perusahaan asuransi akan mengembalikan sebagian dana/premi yang telah disetorkan oleh nasabah, dengan ketentuan 60:40 atau 70:30. Adapun dana yang tidak dapat ditarik kembali, diklaim sebagai tabarru’ atau hibah.
b.   Asuransi Jiwa syari’ah
Bila nasabah hingga jatuh tempo tidak pernah mengajukan klaim, maka premi yang telah disetorkan, akan hangus. Perusahaan mengklaim sebagai hibah dari nasabah kepada perusahaan.

Pembahasannya;
Pada transaksi mudharabah, yang dibagi adalah Keuntungan, sedang pada asuransi umum syari’ah di atas yang dibagi adalah modal (jumlah premi yang telah disetorkan)
Pada akad mudharabah, pelaku usaha mengembangkan usaha riil dengan dana nasabah guna mendapatkan keuntungan. Sedang pada asuransi umum syari’ah, perusahaan asuransi sama sekali tidak mengembangkan usaha guna mengelola dana nasabah.

Sungguh perbuatan semacam ini jauh-jauh hari telah dilarang oleh rasulullah SAW melalui sabdanya:
Janganlah kalian melakukan apa yang pernah dilakukan oleh bangsa Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah hanya dengan sediki rekayasa.” (HR. Ibnu Baththah, dan dihasankn oleh Ibnu Taimiyyah)

Pada hakikatnya, dalam asuransi terdapat unsur untung-untungan, riba, pertaruhan, unsur ketidakjelasan, mengundi nasib.

Firman Allah Ta’ala:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan cara-cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagaan dengan asas suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisaa': 29)

Yang salah datang dari manusia,
Yang benar datang dari Allah SWT.

Senin, 16 Januari 2012

Tinjauan Mudharabah di Bank

Saat ini seluruh masyarakat tidak terlepas dari yang namanya Bank. Ada bank konvensional begitu juga Bank Syari'ah.

Perbankan syari'ah yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. diantaranya;
  • Nasabah dengan bank
  • Bank dengan pelaku usaha
Perbankan dalam hal ini memegang status ganda yang saling bertentangan.
Pada akad mudharabah hanya ada 2 (dua) pihak yang melakukan transaksi. Yaitu Pelaku Usaha dan Pemodal. Setelah menerima uang dari pemodal, pelaku usaha haram menjadikan dirinya sebagai pemodal dengan menyerahkan uang tersebut kepada orang lain (pihak ketiga) untuk usaha tertentu.

Bank syariah yang ada saat ini, Berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah (kreditur) sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejab statusnya berubah, dimana bank berperan sebagai pemodal, yaitu saat bank berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.

Status ganda yang diperankan oleh perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah.

Imam An-nabawi berkata, "Hukum Kedua: Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan dari pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil.

Berikut hal-hal yang bertentangan pada akad mudharabah yang ada di bank syari'ah;
  • Bank tidak memiliki usaha yang riil,
    Sebagai contoh nyata produk perbankan yang ada adalah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Jelas ini menunjukkan, ini bukanlah akad mudharabah.
  • Bank tidak siap menaggung kerugian
    Sedang dalam akad mudharabah kedua belah pihak menanggung kerugiannya bersama-sama.
  • Nasabah tidak siap menanggung kerugian
  • Semua nasabah mendapatkan bagi hasil
    Padahal tidak jelas uang siapa (nasabah/pihak pertama) yang digunakan oleh pelaku usaha (pihak ketiga) yang disalurkan oleh bank (pihak kedua).



Minggu, 15 Januari 2012

Tinjauan Riba di Bank

Tujuan dari memberikan pinjaman (piutang) pada orang lain adalah untuk menolong.

Dikarenakan  alasan yang sangat muliah ini, syari'at islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih, yaitu:



Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.

Dalam pembahasan ini, kita akan membahas bagaimana prosedur kerja pada Bank Konvensional. Sistem bunga yang diterapkan oleh bank merupakan riba yang harus dihindari.


Pihak bank memberikan pinjaman kepada para pengusaha tidak lain bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Misal si Pengusaha A meminjam uang sebesar Rp 100.000.000,-  maka menurut perjanjian yang mereka sepakati, uang ini akan dikembalikan dengan cara dicicil berikut bunganya. Sehingga jika dijumlahkan uang yang dikembalikan kepada bank sudah lebih dari 100.000.000,-  maka sangat jelas semua ini adalah riba.


Begitu juga dengan nasabah yang menyetorkan uangnya ke bank. Dengan istilah "menabung/tabungan" yang pada hakikatnya adalah memberikan piutang kepada bank. Setiap setoran akan mendapatkan bunga bulanan atau bunga tahunan. Sehingga uang yang di piutangkan jumlahnya sudah lebih banyak saat di tarik.

Dalam syariat islam tabungan (wadi'ah) adalah menyerahkan harta kepada orang yang menjaganya. Orang yang menjaga tersebut tidak dibenarkan untuk menggunakan apa yang ditabung oleh si pemilik kecuali atas izin si pemilik. Sedangkan piutang adalah suatu akad berupa memberikan harta kepada orang yang akan menggunakannya dan kemudian ia berkewajiban mengembalikannya.

Kita tidak boleh menyetorkan uang kita kepada bank meskipun bank tersebut tidak memberikan bunga pada kita. Karena uang yang sudah kita setorkan akan digunakan untuk transaksi riba.

Allah Ta'ala berfirman
"Dan jangan bertolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan" (Al-Maidah: 2)



Apakah kita boleh bekerja di bank yang terdapat transaksi riba di dalamnya. Renungkanlah hadits berikut:
Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin "Abdillah bahwasanya ia menuturkan:
"Rasulullah telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya/pegawai), dan juga 2 orang saksinya. Mereka itu sama dalam hal dosanya." (Hr. Muslim).

Sabtu, 14 Januari 2012

Resiko/kerugian Usaha dalam Mudharabah

Keuntungan dan kerugian dalam perniagaan memiliki banyak sebab, mulai dari faktor yang datang dari alam seperti misalnya bencana alam, hingga berbagai hal yang berkenaan dengan kesalahan pelaku usaha. Oleh karena itu, setiap orang yang hendak menggeluti dunia bisnis, harus telah menyiapkan mental dan strategi guna menghadapi salah satu dari dua hal tersebut.

Perniagaan dijalankan, yaitu setiap orang yang berniaga mencari keuntungan, maka ia harus siap menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Bila seorang pedagang berupaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab atas kemungkinan yang mungkin terjadi, maka upaya tersebut sudah dapat dipastikan terlarang.

Bila kita mencermati berbagai bentuk transaksi riba, niscaya kita dapatkan bahwa para pemakan riba nyata-nyata melanggat kaidah ini. Seorang rentenir hanya ingin menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, sedangkan ia tidak sedikitpun sudi untuk menanggung kerugian. bahkan ia ingin tertap mendapatkan keuntungan (bunga) walaupun nasabah mengalami kerugian.

Mudharabah adalah salah satu jenis perniagaan, maka kaidah inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non materi, (skill/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha.

Kamis, 12 Januari 2012

Rukun-rukun Akad Mudharabah

Agar akaq mudharabah dapat dilakukan dengan benar da selaras dengan syari'at Allah Ta'ala. Diantaranya adalah ijab dan qabul, pemodal dan pelaku usaha, modal, usaha, Keuntungan/kerugian usaha.
  1. Ijab dan Qabul
    Yang dimaksud dengan ijab ialah: Perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah. Sedangkan qabul ialah, jawaban yang mengandung persetujuan yang diucapkan oleh pihak kedua atau yang mewakilinya.
  2. Pemodal dan Pelaku Usaha
    Orang yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah ialah orang yang memenuhi 4 (empat) kriteria:
    • Merdeka
    • Telah baligh 
    • Berakal sehat
    • Rasyid (mampu membelanjakan hartanya dengan baik dalam hal-hal yang berguna).
  3. Modal
    Modal ialah harta milik pihak pertama (pemodal) kepada pihak kedua pelaku usaha) guna membiayai usaha yang dikerjakan oleh pihak kedua.

    Para ulama telah menyebutkan persyaratannya,
    • Diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak
      Konsekuensi akad mudharabah adalah pengembalian modal kepada pemodal (seluruh modal), lalu kedua belah pihak berbagi keuntungan yang berhasil diperoleh, sesuai dengan perjanjian.
      Bila jumlah modal tidak diketahui oleh kedua belah pihak, maka akan menimbulkan perselishan tentang keuntungan. Sebab keuntungan tidak dapat dikatakan sebagai keuntungan, melainkan jika jumlah modal telah diketahui dan
      berhasil dikembalikan dengan utuh kepada pemiliknya. 
    • Modal diserahkan kepada pelaku usaha
      Maksudnya adalah pemodal memberikan kebebasan pada pelaku usaha dalam pengambilan dan penyalurannya tanpa ada campur tangan dari pemodal, walupun dana tersebut tetap berada di rekening pemodal. Pelaku usaha harus sepenuhnya menggunakan modal tersebut untuk kepentingan usaha.

  4. Usaha
    • Mudharabah terbatas
      yaitu akad mudharabah yang kedua belah pihak terkait telah menyepakati agar pelaku usaha mengembangkan modal yang ia terima dalam unit usaha tertentu. Pelaku usaha wajib menepati persyaratan yang telah ia sepakati bersama pemodal.
      Misal. yang disepakati adalah usaha pakaian. maka tidak dibenarkan menggunakan modal untuk usaha selain pakaian.
      Dahulu sahabat Hakim bin Nizam apabila menjalin akad mudharabah dengan seseorang, beliau senantiasa mensyaratkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
      1. Agar pelaku usaha tidak menggunakan modalnya pada usaha-usaha yang berkenaan dengan binatang hidup, (misalnya jual beli binatang ternak atau yang semisal).
      2. Tidak membawa serta modalnya ketika pelaku usaha sedang syafar melalui jalur laut.
      3. Tidak dibawa serta ketika sedang turun ke suatu lembah yang mengalir/sungai.
      4. Bila pelaku usaha melanggar ketiga hal di atas, maka ia berkewajiban menanggung ganti rugi bila terjadi kerusakan pada modal usahanya.
        (Riwayat Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Abani)
    • Mudharabah bebas
      Yaitu apabila kedua belah pihak tidak mengajukan persyaratan apapun, baik berkenaan jenis-jenis usaha, tempat, waktu, atau lainnya yang membatasi kebebasan pelaku usaha dalam mengelola modal yang ia terima. Asal menguntungkan apapun bentuk usahanya.
      Pada mudharabah jenis kedua ini, pelaku usaha memiliki kebebasan sepenuhnya untuk menjalankan usaha-usaha yang dibenarkan dalam syari'at, apapun wujudnya. Walau demikian, bukan berarti ia dibenarkan untuk berbuat ceroboh dan tanpa perhitungan.
      Pelaku usaha tetap berkewajiban untuk menjalankan usaha sebaik mungkin, agar benar-benar mendapatkan keuntungan dan terhindar dari kerugian. Yang demikian itu dikarenakan, modal yang ia terima adalah amanah yang harus ia jaga dan dikelola sebaik mungkin, sesuai yang diharapkan oleh pemodal. Ia harus berusaha sebaik mungkin untuk mendatangkan keuntungan.
  5. Keuntungan
    Tujuan utama akad mudharabah adalah keuntungan, sehingga kedua belah pihak terkait mendapatkan kemanfaatan materi. Pemodal, diuntungkan karena dananya berkembang, sebagaimana pengusaha beruntung karena mendapatkan bagian dari hasil bagi hasil.
    Syarat pembagian keuntungan sebagai berikut:

    • Keduan belah pihak terkait harus mengetahui dan telah menyepakati sejak awal akad prosentase bagian masing-masing dari keuntungan. Apabila salah satu pihak terkait tidak mengetahui mengetahui nisbah bagiannya, maka ini menjadi penyebab batalnya akad mudharabah. Misal 50 : 50 (separuh)
    • Objek akad mudharabah adalah keuntungan, dengan demikian tidak dibenarkan bagi keduanya untuk mensyaratkan agar mendapat bagian dari selain keuntungan. Misalnya mensyaratkan mensyaratkan agar pemodal mendapatkan bagian 30% dari total modal yang ia berikan kepada pengusaha.

      Kesimpulannya adalah  bagi hasil bersumber dari laba yang diperoleh.
      Labanya yang dibagi.

Memahami Riba

Untuk semua orang islam dan para pelaku bisnis khususnya, Hati-hati terhadap riba yang merupakan salah satu dosa besar.

Fiman Allah Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Ali Imran: 130)

Dan Firman Allah Ta'ala:
"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. dan disebabkan mereka memakan riba, padahal mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih." (QS. An Nisaa': 160-161)

Dan Firman Allah Ta'ala:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri seperti orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. 
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 
Hai Orang-orang yang beriman, Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya (merugikan) dan tidak (pula) dianiaya (dirugikan)." (QS. Al Baqarah: 275-279)

Riba didefinisikan " Suatu akad/transaksi atas barang tertentu (atau uang) yang ketika akad berlangsung dilakukan pemambahan/melebihkan."

Macam-macam riba:
  1. Riba Penundaan (Nasi'ah)
    Dalam akad hutang-piutang
    Contoh kasus,
    Bila A berhutang kepada B uang sejumlah Rp 1.000.000,- dengan perjanjian: A melunasi setelah 1 bulan. Ketika jatuh tempo, A belum melunasinya, maka B bersedia menunda dengan syarat A memberikan tambahan/bunga misal 5% dari jumlah piutangnya.
    Atau ketika akad hutang-piutang dilangsungkan, salah satu dari mereka telah mensyaratkan agar A memberikan bunga/tambahan ketika telah jatuh tempo (saat melunasi).
  2. Riba Penambahan/Perniagaan (Fadhl)
    Pada Riwayat Rasulullah SAW bersabda:
    "Aduh, (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan, akan tetapi bila engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian belilah dengan (uang) hasil penjualannya." (Muttafaqun 'alaih)

    Hadits ini menjelaskan bahwa tidak boleh menukar kurma misal, 2 kg (mutu rendah) dengan 1 kg (mutu baik). Akan tetapi jual dulu kurma yang 2 kg. Setelah ada uang hasil penjualan dari 2 kg, uangnya bisa digunakan untuk apa saja termasuk membeli kurma 1 kg bermutu baik.

    Hal ini juga berlaku untuk emas.
    Jika hendak menukar emas lama dengan emas baru, juallah terlebih dahulu emas lama baru uangnya digunakan dengan emas baru. Boleh di toko emas tempat menjualnya atau di toko emas lainnya.

    hal ini menjelaskan hadits berikut,
    "Emas dujual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya'ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangan) sama dengan sama dan (dibayar dengan) kontan. Barang siapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba." (HR. Muslim).

    Artinya boleh menukar emas lama dengan emas baru secara langsung asalkan beratnya sama.

Dulu, di Zaman Rasulullah,
Tujuan dari memberikan pinjaman (piutang) pada orang lain adalah untuk menolong.

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan (dunia), maka itu adalah riba.

Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin "Abdillah bahwasanya ia menuturkan:
"Rasulullah telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya/pegawai), dan juga 2 orang saksinya. Mereka itu sama dalam hal dosanya." (Hr. Muslim) .

Mengapa harus meninggalkan Riba??
HARUS
Dalam Hadits berikut:
Dari sahabat Abu Hurairah, Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Jauihilah olehmu 7 (tujuh) dosa besar yang akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka)." Para sahabat bertanya. "Ya Rasulullah, apakah dosa-sosa itu?" Beliau Bersabda, "Mensekutukan Allah, Sihir, Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan, dan menuduh wanita mu'min yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah berjina)." (Muttafaqun 'alaih)

Agar kita memahami tentang betapa besarnya dosa memakan riba, Silahkan merenungkan sabda Rasululllah SAW berikut yang menjelaskan kadar dosa memakan riba:

"(Dosa) riba itu memiliki 72 pintu. yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melanggar kehormatan/harga diri saudaranya." (HR. Ath. Thabrani dan lainnya serta dishahihkan oleh Al-Albani)

Pada hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya 1 (satu) dirham yang diperoleh seseorang dengan cara riba, dosanya lebih besar di sisi Allah dibanding 36 (tiga puluh enam) kali perzinaan yang dilakukan seseorang. Dan riba yang paling besar ialah yang berkaitan dengan kehormatan seorang muslim." (HR. Ibnu Abi ad-Daud dalam kitab Zammul Ghibah, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Abani)


Terkait
Tinjauan Riba di Bank

Rabu, 11 Januari 2012

Mudharabah (Kerja sama bagi hasil)

Terdapat beberapa perbedaan ungkapan dari para ulama ahli fiqih dari berbagai madzhab. Namun semuanya mengarah pada suatu pemahaman yang sama.

Mudharabah adalah suatu akad serikat dagang antara dua belah pihak, pihak pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam prosentase yang telah disepakati antara keduanya.

Akad mudharabah tercakup oleh dalil-dalil umum yang menghalalkan kita untuk berniaga  dan mencari keuntungan yang halal, serta dalil-dalil yang menghalalkan segala hal yang bermanfaat atau manfaatnya lebih besar dibanding madharatnya.
  1. Firman Allah Ta'ala
    "Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari Rabbmu." (QS. Al Baqarah: 198)
  2. Firman Allah Ta'ala
    "Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (QS. An Nisaa': 29)
  3. Hadits Nabi SAW yang dapat menjadi dasar akad mudharabah "Abdullah bin'umar sebagai berikut
    "Bahwasanya Nabi SAW menyerahkan kepada bangsa yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah SAW mendapatkan separo dari hasil panennya." (Muttafaqun 'alaih)
Pada hadits di atas jelas dinyatakan bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat islam dipercayakan kepada warga Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami dengan perjanjian bagi hasil 50% banding 50%. Akad semacam ini disebut dalam ilmu fiqih dengan istilah Musaaqaah.

Hadits di atas secara khusus berkenaan dengan akad musaaqaah, akan tetapi secara tidak langsung menjadi dalil disyari'atkannya akad mudharabah. Yang demikian itu karena kedua akad ini serupa, baik dalam wujud lahirnya, atau konsekuensi hukumnya.

Diantara hikmah mulia dari akad mudharabah ialah: masing-masing pihak yang menjalin hubungan kerja sama mudharabah mendapatkan keuntungan dalam bentuk materi, pengalaman dan lainnya. Sehingga pada suatu saatnya nanti, pemilik modal dapat mengelola kekayaannya dengan sendirinya. Sebagai pelaku usaha dapat merintis usaha dengan  bermodalkan keahliannya dan modal yang berhasil ia kumpulkan dari hasil bagi hasil dengan pemodal pertama. Dan bila proses peningkatan potensi dan kemampuan, baik materi ataupun keahlian ini terus dijalankan secara berkesinambungan, niscaya pada saatnya nanti, umat islam akan terhindar dari penderitaan ekonomi dan sosial yang sekarang sedang menghimpit kita.

Terkait
Rukun-rukun akad Mudharabah

Tentang Saya

Foto saya
Jalan Lebe Kader, Gelengang (1001); Jalan Anugerah Lorong Sejahtera, Takengon., Aceh Tengah, Indonesia
Seorang yang ingin selalu menambah ilmu agar selamat dunia dan akhirat, Pencari Kebenaran dari sisi Pencipta swt. Berdakwah meneruskan visi misi Rasulullah saw

Ads